Categories
Cerpen

Cerita Seorang Perempuan Tentang Perempuan Lainnya

Aku ingin menceritakan sedikit tentang bagaimana seorang perempuan yang tumbuh menjadi seorang wanita hingga menjadi ibu bagi anak-anaknya. Seperti banyak perempuan lainnya, ia memiliki hati yang peka. Dari sekian banyak perempuan di Indonesia, sekitar 130 juta lebih jumlahnya, ia adalah satu-satunya yang paling besar hatinya. Ia mungkin tak pernah menyadari hal itu. Ia memiliki perawakan yang normal dan indah, dan aku bangga mewarisi sedikit darinya. Senyumnya yang khas tampak secerah matahari yang terbit dari timur, yang juga tempat kelahirannya. Bicaranya tegas, namun semakin tua ia lebih lembut dalam bertutur. Tidak kasar, tetapi memiliki prinsip. Aku mengingatnya sebagai seorang perempuan tangguh, pekerja yang ulet dan humoris. Katanya begini, “ Mama kalau sakit pasti teman-teman kantor sering nanyain, emang katanya mama tuh badutnya kantor.” Ia memang jenaka namun tak jarang sering bersedih. Aku pernah melihatnya membakar puntung rokok dan perlahan ia menikmatinya. Ia seperti kembali pada masa mudanya, seorang gadis perantauan yang baru mengenal kota metropolitan. Ia menghirup asapnya, duduk di kursi mencuci dan gayanya bak seorang model. Aku menegurnya dan ia berkata hanya sekali ini saja. Ia memang jarang melakukannya.

 

Aku pernah berkata padanya di suatu sore, “ma, gimana kalau aku panggil mama ibu atau bunda, atau mungkin mom?”

Ia menjawab, “sudah, mama saja. Toh, sama aja artinya.”

“Tapi ma, mama itu pasaran. Ibu kayaknya lebih Indonesia.”

“Itu gak penting. Kamu tahu, yang terpenting itu kamu sampai tua ingat mama, gak perlu lah ibu, bunda. Panggilan sama saja, tapi kalo mengingat itu orang jarang.”

Ia menutup percakapan dengan berkata demikian. Hatiku seperti ada yang menusuk. Mama adalah seorang yang cerdas. Ia dulu cukup unggul dalam bahasa. Ia mampu berbicara dalam Bahasa Inggris, Jerman, dan Prancis, juga Bahasa Dawan. Bahasa dawan adalah Bahasa daerah, yang menurutnya sama susahnya dengan Bahasa Inggris. Bahasa dawan adalah Bahasa andalannya ketika ia sedang membicarakan hal-hal dengan saudaranya yang tak jarang tentang hal yang tak patut kudengar. Lucu ketika mendengarnya. Logat yang keluar membuat aku sadar bahwa aku ini kaya akan kultur, aku bukan hanya dari tanah jawa saja. Aku tumbuh bersamanya, menyaksikan hidupnya, merasakan hatinya patah. Ia terpaksa berhenti kerja karena memilih membesarkan aku dan adikku. Mulai hari itu, ia berubah.

Seiring waktu aku semakin besar, semakin nakal, sok tahu dan tak mau diatur. Kami sering bertengkar, dan tak jarang itu berakhir menjadi sesuatu yang menghasilkan ‘ledakan besar’. Aku keras, ia keras. Ya, benar, aku mewarisi sedikit sifatnya. Dia mencintaiku dengan caranya yang keras. Ia sering menutup dirinya dan menjadikan dirinya idealis, terlampau idealis. Ia banyak menghabiskan waktu dengan menyalahkan dirinya sendiri semenjak ia mundur dari pekerjaannya. Aku sering bertanya apa mimpi besarnya sehingga ia berani dan menguatkan hati untuk hijrah ke ibukota. “Mama dulu sudah diterima di Malang untuk kuliah Pertanian, tapi mama tak punya dana lebih dan harus menumpang di rumah saudara. Di Malang, gak ada siapa-siapa.” Dan kini, waktu memberi kesempatan lain. Adikku diterima disana dan kuanggap ia menggantikan mama di sana. Adikku lebih banyak miripnya dengan Mama. Dari banyak lidah, aku dengar jika seorang laki-laki mirip ibunya maka ia beruntung. Aku selalu mengamini doa itu.

Mama adalah pencerita yang unggul. Ia pintar merangkai obrolan menjadi sebuah kisah. Ia menceritakan banyak rahasia dengan gaya bicara yang sama waktu ia mengisahkan cerita tiga babi kecil, perempuan bertudung merah, atau perempuan ikal berambut emas yang menyusup ke rumah keluarga beruang. Persis seperti kisah klasik. Sembari ia bercerita, tawa dan pesan juga nasihat disisipkannya. Aku tak punya banyak waktu sekarang dan juga aku lebih sering menangis. Ia kadang hanya mendengar dan pura-pura tidak tahu, tapi sering aku mendengar ia menyebut namaku saat ia berdoa di kamar. Aku mendengar sayup-sayup dari jendela kamarnya. Di depan patung Ibu Maria yang wajahnya terang terkena cahaya lilin, ia sering berdevosi. Semenjak sakit, ia jauh lebih religius, lebih dari sebelum ia sakit. Ibaratnya sudah rajin makin rajin. Sementara aku suka memilih menjauh dari Ibu Maria karena aku malu sebab sering mengingkari janji. Tapi aku dapat merasakan Tuhan bekerja lewat mamaku. Mama seperti laut dan aku seperti penyu. Senyaman apapun daratan, namun aku tetap harus pulang ke laut, karena laut adalah rahim bagi jiwaku, meski aku suka tersesat dan mengingkari janji.

Suatu hari aku pernah berbaring bersamanya di tempat tidur. Badan kami berdua besar dan akhirnya menjadi sesak, tapi aku malah lebih merasa dekat dengannya. Aku sekarang tahu rasanya ketika dulu waktu bayi aku terlelap dalam dekapannya. Sewaktu berbaring ia banyak bercerita. Mataku menatap langit-langit kamar dan terkaget-kaget atau tertawa kecil sembari mendengar kisah klasiknya. Seperti ada reka ulang ketika aku melihat keatas, ia juga melakukan hal yang sama. Tibalah kami pada kisah waktu ia pulang ke kampung, menengok ibunya, yaitu Po (panggilan Oma bagi orang turunan cina). Po adalah orang asli cina yang menikah dengan opa yang seorang asli NTT. Po adalah orang yang keras tapi pandai. Po ahli dalam membuat kue, memasak, dan menjahit baju. Makanan kesukaanku buatannya adalah mie cina. Gilingan tepung yang pipih dikukus, lalu direbus bersama kuah ayam kampung dan sawi. Ah, rasanya enak sekali. Sangat enak. Mama mengisahkan cerita tentang Po bagai seorang ibu tapi juga seorang ksatria. Ia sering membuatkan anak-anaknya mainan, karena dahulu mereka tak sanggup membeli mainan.

Tangannya terampil dan ia adalah perempuan yang pandai menyenangkan hati anak-anaknya. Ia sering mengajak anak-anaknya berpiknik waktu bulan purnama di lahan kecil kosong rumah mereka. Di bawah terang bulan, mereka menggelar tikar dan tidur sambil menatap rembulan, yang memamerkan bentuknya yang bulat sempurna. Ketika itu juga masih sering ditemui kunang-kunang. Waktu mereka pulang dari Gereja di tengah gelapnya malam, mama, bersama saudara-saudaranya juga Po melangkah menuju rumah diterangi oleh sinar kunang-kunang. Mama bercerita ia memiliki masa kecil yang susah, tapi indah. Waktu pulang kampung, saat waktunya tidur Po memanggil mama dan memintanya untuk tidur bersamanya. Badannya yang kecil dan renta tak sebanding dengan badan mama yang gemuk. Seperti diriku, mama kembali ke masa kecilnya.

Tak lama sejak itu, Po dipanggil menghadap Tuhan. Aku ingat aku tak menangis berat, aku hanya sedih sewajarnya. Jujur, aku memang kurang dekat dengan Po, tapi saat bertemunya aku seperti sudah mengenalnya layaknya aku setiap hari bertemu dengannya. Itu semua karena kisah Mama. Terakhir kali aku bertemu Po, ia memberi aku angpau dengan amplop merah. “Ini untuk kamu beli baso pentol,” begitu katanya sambil tersenyum dengan mata sipitnya. Lalu kami pamit untuk pulang ke Jakarta. Kami menumpang bus menuju Kupang. Baru lima detik di bus, aku kembali turun dan berlari memeluknya. Aku seperti tahu itu adalah terakhir kalinya aku mengenalnya, memeluknya dan menemuinya. “Eh ini anak kenapa nih, turun kembali. Pi sana ke bis, nanti ditinggal,” katanya dengan logat timurnya. Lalu aku kembali ke bus dan melambaikan tangan lewat jendela dan tak berhenti menatap Po dan Opa. Itu juga terakhir kalinya aku melihat Opa. Po mewariskan keteguhan hati kepada mama, hati yang besar menemani seorang suami yang biasa saja.

Di samping itu, mama juga selalu tertawa jika bercerita tentang Mbah. Ibunya papa. Mbah adalah perempuan tangguh lainnya yang adalah orang jawa. Mbah adalah wanita keras kepala yang rajin mengunjungi kami dan ia adalah perempuan yang paling saying dengan cucu-cucunya. Ia membesarkan kami dengan resep-resep jamu yang selalu diajarkan ke menantu-menantunya. Beras kencur adalah signature drink darinya. Beras kencur yang selalu dianggap ampuh menyembuhkan segala penyakit baginya selalu ia paksakan untuk diminum agar kami selalu sehat. Ia adalah wanita kuat, aku mengatakan ini dalam artian sebenarnya. Bagaimana tak kuat, ia mengoperasi dirinya sendiri sewaktu terkena tumor payudara. Ketika kehabisan darah ia baru dilarikan ke Rumah Sakit. Dokter sendiri tak menyangka tumor itu berhasil diangkat oleh tangan Mbah. Ia juga sering bercerita saat Jepang menjajah tanah Jogja. Dari sana ia mampu berbicara Bahasa jepang dan kerap kali menyanyikan lagu jepang untuk menghibur mama. Mbah adalah ibu kedua bagi mama dan ibu kedua bagiku. Mbah selalu menguatkan dan membesarkan hati mama. Ia selalu berkata mama jauh lebih beruntung dibanding dirinya.

Aku ingin mengakhiri cerita ini dengan bersyukur bahwa aku dikelilingi oleh wanita-wanita kuat yang tak sadar menularkan banyak hal aneh, baik, sedih, dan menakjubkan padaku. Aku selalu tahu bahwa suatu hari aku akan menuliskan banyak hal tentang mereka. Aku selalu tahu bahwa aku akan selalu berterima kasih pada mereka, apapun kondisinya. Kini, aku sudah sedikit mewujudkan keinginan mama untuk bercerita tentang perempuan-perempuan yang menguatkan dirinya, yang juga menguatkanku. Kelak aku tak akan memaksakan anakku akan memanggilku mama atau bunda atau ibu. Biarkan ia memilih dan semoga ia selalu mengingatku, apapun panggilanku.

 

By Carolina Astari Sekar Pratiwi

Penulis, bermain musik, pengajar, pecinta segala bentuk seni. Kebanyakan yang ditulis berdasarkan keseharian, karena keseharian begitu dinamis dan nyata.

Leave a comment